Kearifan Lokal Masyarakat Lili

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT LILI

(Benteng Alam Perlindungan Hutan SPTN Wilayah II Maba)

KEPALA SUKU LILIIsu perlindungan hutan sangat akut dan selalu diangkat dalam setiap pertemuan. Itu sebabnya artikel ini ditulis oleh professional letter writer on https://300writers.com/hire-letter-writer.html dan sangat relevan. Baca terus.
Perlindungan dan pengamanan hutan merupakan bagian dari upaya pengelolaan kawasan taman nasional. Dalam prakteknya, tindakan perlindungan dan pengamanan hutan ditujukan pada 3 (tiga) aspek penting meliputi ; pertama perlindungan terhadap hutan sebagai kesatuan ekosistem ( flora dan fauna), kedua perlindungan terhadap kawasan hutan menyangkut substansi lahan dan status hukumnya, ketiga penegakan tertib peredaran hasil hutan

Merujuk pada teori “Sustainable Forest Management” yang menekankan pengelolaan suatu kawasan hutan, pada prinsipnya harus diarahkan pada kondisi hutan mampu memberikan manfaat secara optimal dan berkesinambungan. Salah satu poin pentingnya adalah adanya kepastian kawasan. Sebaik apapun upaya pengelolaan tanpa adanya kepastian kawasan maka nilainya sama dengan 0 (nol). Kepastian kawasan dimaksud meliputi jumlah luasan dan letaknya, posisi dan tanda batasnya, status kepemilikan, fungsi dan peruntukan dari berbagai zona dalam kawasan pengelolaan.

Adanya berbagai permasalahan menyangkut kepastian kawasan dalam pengelolaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata merupakan salah satu indikator belum terakomodasinya upaya konservasi dalam perencanaan pembangunan daerah. Harus diakui bahwa kelembagaan yang masih lemah, kurangnya komunikasi dan konsultasi antara Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata dengan instansi pemerintah daerah sangat mungkin menjadi salah satu penyebab timbulnya permasalahan dalam pengelolaan kawasan seperti terjadinya perambahan, pengkaplingan lahan, dan tumpang tindih peruntukan pemanfaatan lahan, baik yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, institusi pemerintah daerah dan badan usaha / perusahaan swasta.

Ditinjau dari sumbernya, pemicu kerawanan digolongkan kedalam 8 (delapan) faktor utama (Astagatra) yang berpotensi menimbulkan gangguan keamanan hutan. Delapan faktor tersebut dalam ilmu intel dasar disebut sebagai Trigatra dan Pancagatra. Aspek Trigatra meliputi Demografi, Geografi dan Sumber Daya Alam sedangkan aspek Pancagatra meliputi idilogi, politik, ekonomi, social dan budaya.

Khusus di Dusun, Lili Resort Dorosagu SPTN Wilayah II Maba, faktor-faktor di atas selain dapat menyebabkan gangguan sekaligus menjadi benteng alami penghambat terjadinya laju kerawanan gangguan keamanan kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di daerah ini.

Keberadaan Suku Tobelo Dalam di Dusun Lili yang memiliki nilai kearifan lokal dalam hal tertentu berdampak baik bagi kegiatan pengamanan kawasan taman nasional. contohnya kebijakan yang positif menyangkut suatu kepentingan, kelompok suku tetap tunduk pada keputusan kepala suku. Kepala suku ini sekarang bernama Habiana Tiak. Selain sebagai kepala suku, beliau juga menjabat sebagai Kepala Dusun Lili. Meski tanpa pendidikan formal yang memadai Kepala Suku Lili dapat berbahasa Indonesia dengan baik, membaca, menulis dan bahkan bisa menggunakan mesin ketik, serta sedikit menguasai Bahasa Inggris. Adapun kearifan lokal yang dianggap berpengaruh baik terhadap perlindungan hutan adalah sebagai berikut:

  1. Adanya pembagian wilayah perburuan antara warga pesisir dan pedalaman
  2. Aturan pemanfaatan Sumber Daya Alam sebatas memenuhi kebutuhan primer / non komersil
  3. Pembatasan dan larangan pemanfaatan potensi SDA tertentu oleh pendatang.
  4. Perlindungan mata air / sumber air dan sungai dari pencemaran seperti larangan membuang limbah dan racun ke sungai.

Potensi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati Dusun Lili, Resort Dorosagu SPTN Wilayah II Maba memiliki daya tarik tersendiri. Daya tarik ini berupa perpaduan kondisi vegetasi hutan yang alami, keragaman fauna dan bentang alam yang indah berupa medan yang cukup berat dengan keberadaan masyarakat Suku Tobelo Dalam dengan pola hidup tradisionalnya.

Sebagai upaya tindak lanjut, maka perlu dipertimbangkan untuk menetapkan daerah ini sebagi zona khusus. Untuk tahap awal, perlu dilakukan pemantauan secara rutin, penyuluhan konservasi serta pelaksanaaan program pemberdayaan sebagai tindakan pre-emtif untuk mencegah masuknya pengaruh negatif dari luar yang berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat tradisional. Dampak buruk yang dihindari adalah adanya pemanfaatan sumber daya alam berlebih sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan yang akan mengganggu kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata.***

Penulis : Oo Odih Suhendi (Polhut Balai TNAL)

Gua Melissa yang Eksotik

Gua Melissa yang Eksotik

Gua Melissa itulah namanya, yang pasti akan membuat banyak orang bertanya-tanya. Kenapa namanya Gua Melissa? seperti nama seorang wanita. Benar, nama Gua Melissa diambil dari nama seorang wanita yang berasal dari Amerika Serikat yang mempunyai keahlian dibidang botani. Pada tahun 2011 ada beberapa orang peneliti yang tergabung dengan LIPI yang melakukan penelitian tentang botani di kawasan Halmahera dengan mengambil lokasi sample di kawasan TN Aketajawe Lolobata. Salah satu orang peneliti tersebut bernama Melissa. Pada saat melakukan eksplorasi tumbuhan di kawasan TN Aketajawe Lolobata yang terletak di dekat desa Binagara, tanpa disadari, lokasi sekitar kegiatan eksplorasi tumbuhan terdapat sebuah Gua. Pada saat itu, Melissa tertarik dan ingin tahu apa yang terdapat di dalam gua. Akhirnya Melissa memutuskan untuk masuk ke gua tersebut dengan didampingi oleh seorang porter yang bernama Rozi salah satu local guide (pemandu lokal) lapangan di kawasan TN Aketajawe Lolobata. Ternyata gua tersebut belum mempunyai nama, dan Melissa merupakan seorang wanita yang pertama kali memasuki gua tersebut, sehingga akhirnya diputuskan untuk memberikan nama gua tersebut dengan nama “Gua Melissa”.

  stalagtit gua melissa

Lokasi Gua Melissa

Gua Melissa merupakan salah satu gua yang ada di kawasan TN Aketajawe Lolobata. Selain Gua Melissa ini ada beberapa gua lainnya diantaranya Gua Kulintang, Gua JPG, Gua Havo, dan Gua Paniki. Gua Melissa terletak di Blok Aketajawe sekitar desa Binagara, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur. Akses untuk menuju Gua Melissa ini sangat mudah karena mobil atau motor bisa masuk sampai batas luar kawasan TNAL yang dekat dengan desa Binagara.

Rute perjalanan dapat dilakukan dari Kota Ternate menuju Sofifi melalui jalur laut dengan menggunakan speedboat yang memakan waktu ± 45 menit atau kapal feri dengan waktu tempuh ± 2 jam. Kemudian perjalanan dilanjutkan dari Sofifi menuju desa Binagara melalui jalur darat dengan menggunakan mobil atau motor. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan dari Sofifi ke Desa Binagara kurang lebih 1.5 – 2 jam.

Di dalam kawasan TNAL sekitar desa Binagara terdapat resort sementara yang biasa digunakan untuk menginap atau singgah bagi para pengunjung. Dari lokasi resort sementara ke lokasi Gua Melissa hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak dan menyeberangi sungai, serta melewati lebatnya hutan dataran rendah Maluku Utara yang dipenuhi pohon-pohon menjulang tinggi dengan nuansa asri dan merasakan kesegaran udara yang masih alami. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke lokasi Gua Melissa dari resort sementara sekitar 30 menit.

Gua Melissa sangat aman untuk dimasuki oleh siapapun, baik anak-anak, remaja dan orang dewasa. Gua Melissa mempunyai lebar rongga gua ± 15-17 meter. Didalam Gua Melissa banyak dihuni kelelawar-kelelawar kecil. Bentuk-bentuk stalagtit yang kecil menyerupai kerucut menjadikan daya tarik yang berada di atas gua.

Pada ujung pangkal gua sejauh ± 30 meter dari mulut gua, terdapat stalagtit yang besar dan menyerupai menara pizza di Italia. Pada permukaan stalagtit tersebut seperti permukaan terumbu karang yang ada di laut. Rongga gua pada ujung pangkal gua Melissa ini cukup luas. Rongga ini bisa memuat sebanyak ± 20 orang yang memasukinya. Setiap orang yang memasuki rongga ini akan langsung merasakan udara dingin dan lembab. Dibawah terdapat genangan air yang berasal dari kumpulan mata air yang keluar melalui dinding-dinding gua. Suara kelelawar yang menggema didalam gua dan terbang kesana kemari harus kita waspadai. Tapi jangan kuatir, kelelawar terbang tidak akan menabrak kita yang sedang di dalam gua karena kelelawar pada saat terbang mengeluarkan gelombang ultrasonik walaupun di dalam gua sangat gelap.

Selain itu, terdapat mulut gua Melissa lainnya. Mulut gua ini sangat kecil dan sempit. Mulut gua ini bisa dimasuki oleh seorang saja dengan postur tubuh yang ramping. Karena mulut gua ini berupa lorong kecil yang memanjang sejauh ± 20 meter dan cara memasukinya harus merayap dari mulut gua sampai masuk ke dalam Gua Melissa. Mulut gua ini tembus pada bagian pangkal ujung Gua Melissa. Bagi orang yang berbadan besar (gemuk) tidak disarankan untuk mencoba memasuki Gua Melissa melalui mulut gua ini,karena ditakutkan tersangkut di tengah-tengah rongganya.


Penulis : Puji Waluyo, S.Hut (PEH Balai TNAL)

Pengelolaan Kolaboratif di Taman Nasional Aketajawe Lolobata

Pengelolaan Kolaboratif  di Taman Nasional Aketajawe Lolobata*

OLYMPUS DIGITAL CAMERAKawasan konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) yang berada di jantung Pulau Halmahera di Propinsi Maluku Utara merupakan benteng keanekaragaman hayati di daerah ini yang memiliki peran sangat penting khususnya bagi masyarakat di Pulau Halmahera dan secara umum bagi masyarakat Maluku Utara. Kawasan ini secara ekologi memiliki beragam tipe ekosistem, dari hasil analisa citra satelit tahun 2007 menyebutkan bahwa sekitar 88,6 % kawasan berupa hutan.Berdasarkan ketinggian kawasan TNAL secara umum dapat dibagi menjadi dua tipe ekosistem utama, yaitu hutan dataran rendah dan hutan pegunungan. Mengacu pada karakteristik nyata di lapangan, pembagian mintakat ketinggian (berdasarkan Poulsen dkk, 1999) kawasan TNAL, yaitu 0-700 mdpl untuk hutan dataran rendah dan lebih dari 700 mdpl untuk hutan dataran tinggi. Vegetasi ekosistem dataran rendah umumnya didominasi dari family Dilleniaceae dan Dipterocarpaceae, sedangkan dataran tinggi ditandai dengan kehadiran kantung semar (Nepenthes spp.) dan tegakan damar (Agathis sp.).

Kawasan TNAL memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, hal ini dapat terlihat dari jumlah spesies penyusun ekosistemkawasan. Setidaknya terdapat 162 jenis flora dan berbagai jenis fauna. Keragaman fauna yang menghuni TNAL meliputi 33 jenis mamalia (termasuk di dalamnya 26 jenis kelelawar dan terdapat 1 jenis kuskus endemik Halmahera), 53 jenis reptilia (1 jenis endemik Halmahera), dan 17 jenis amfibia (4 jenis endemik Halmahera). Kekayaan fauna endemik Maluku Utara yang terdapat di Halmahera berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Poulsen dkk. (1999), kemungkinan juga berada di dalam kawasan TNAL, yaitu 13 jenis belalang, 43 jenis capung, 11 jenis kupu-kupu raja, dan 105 jenis moluska darat. Hasil survey TNAL 2008-2009 mengenai keragaman avifauna di dalam kawasan TNALmenyebutkan bahwa setidaknya terdapat 104 jenis burung di dalam kawasan, termasuk 25 di antaranya merupakan jenis endemik Maluku Utara. Dari 25 jenis ini, empat jenis di antaranya merupakan jenis endemik Pulau Halmahera, yaitu mandar gendangHabroptila wallacii, cekakak murung Todiraphus fenubris, kepudang halmahera Oriolus phaeochromus, dan kepudang-sungu Halmahera Coracina parvula (Bashari dan Nurdin). Selain potensi keanekaragaman hayati dan non hayati yang tinggi, kawasan ini memiliki potensi jasa lingkungan dan wisata alam yang dapat dikembangkan pemanfaatannya untuk meningkatkan nilai ekonomi daerah dan masyarakat sekitarnya. Selain itu, di sekitar kawasan taman nasional terdapat potensi wisata budaya dengan adanya komunitas suku Tobelo Dalam atau yang biasa disebut suku Togutil.

Secara umum, pengelolaan TNAL yang kurang lebih empat tahun ini belum menunjukkan adanya perbaikan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat sekitar kawasan taman nasional. Beberapa lokasi di bagian kawasan TNAL juga masih dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil sumberdaya alam untuk keuntungan jangka pendek yang tentunya menimbulkan dampak negatif terhadap keutuhan kawasan dan masyarakat sekitarnya. Pada sisi lain, adanya keterbatasan kapasitas pemerintah dalam hal ini Balai TNAL untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian SDAH&E dapat dikatakan masih mengalami keterbatasan dalam mewujudkan pengelolaan kawasan TNAL yang lebih efektif. Oleh karena itu, untuk dapat menjadikan pengelolaan TNAL menjadi lebih efektif, efisien, optimal, terkoordinasi, dan berkelanjutan maka pengelolaan TNAL perlu mengembangkan mekanisme pengelolaan kolaboratif.

Pengelolaan kolaboratif diartikan sebagai kesepakatan dua atau lebih pemangku kepentingan untuk membagi informasi, peran, fungsi, dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan mekanisme kemitraan (partnership) yang disetujui secara bersama (Borrini-Feyerabend et al, 2000). Ciri khas kolaborasi adalah proses-proses saling belajar (sharing), terutama berbagi informasi. Dalam proses mencapai tujuan seringkali dilakukan penyesuaian terus menerus atau adaptif (Carlsson and Berkes, 2005). Kebijakan pengelolaan kolaboratif pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor : P.19/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 disebutkan sasaran-sasaran strategis pengelolaan kolaboratif Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), yaitu :

  1. Terjaganya keutuhan sumberdaya alam hayati dan ekosistem KSA dan KPA;
  2. Terwujudnya peningkatan manfaat ekonomi jangka panjang KSA dan KPA;
  3. Terwujudnya rencana dan kesepakatan multi-pihak dalam pengelolaan KSA dan KPA;
  4. Terwujud dan terfungsikannya lembaga pengelolaan kolaboratif/multi-pihak untuk mendukung pengelolaan KSA dan KPA;
  5. Terselesaikannya konflik di KSA dan KPA secara kolaboratif;
  6. Terwujudnya transparansi, akuntabilitas, peranserta para pihak, efisiensi, efektifitas, dan keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan KSA dan KPA.

Saat ini, Balai TNAL bersama mitra Burung Indonesia Program Halmahera membangun sistem Kolaborasi Pengelolaan Kawasan TNALdengan membentuk Forum Komunikasi Pengelolaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata pada 3 kabupaten/kota di Propinsi Maluku Utara, yakni di Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Tengah,danKota Tidore Kepulauan. Forum komunikasi ini merupakan wadah bersama Pemerintah Daerah, Balai TNAL, LSM, masyarakat, sectorswasta, dan akademisi untuk bekerjasama dalam memperkuat pengelolaan TNAL sehingga dapat memberikan manfaat secara berlanjut. Forum ini dipimpin oleh seorang ketua forum yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati.

Berkaitan dengan penyelenggaraan kolaborasi pengelolaan di TNAL maka masing-masingkabupaten/kota menerbitkan landasan hukum berupa keputusan bupati/walikota. Sebagai contoh, pada Kabupaten Halmahera Timur telah ditetapkan keputusan Bupati sebagai landasan hukum penyelenggaraan kolaborasi pengelolaan di daerah Halmahera Timur berdasarkan keputusan Nomor : 188.45/107-860/2009 tentang Pembentukan Forum Komunikasi Pengelolaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Adapun, guna mensinergikan berbagai upaya para pihak dalam melestarikan TNAL dan memaduserasikan konservasi kawasan TNAL dengan pembangunan daerah dan pengembangan masyarakat setempat, maka pada keputusan bupati tersebut tertuang tugas forum komunikasi pengelolaan TNAL, yaitu sebagai berikut :

  1. Mengoordinasikan dan menjembatani proses resolusi konflik kawasan yang terjadi diantara pihak-pihak yang berkepentingan sesuai aturan hukum yang berlaku.
  2. Membantu Balai TNAL dalam mewujudkan kebijakan pengelolaan kawasan yang lebih baik (Good Governance Policies).
  3. Memperkuat jaringan pengamanan kawasan TNAL berbasis dukungan masyarakat dan para pihak di Kabupaten Halmahera Timur.
  4. Melaporkan semua kegiatan yang berkaitan denngan resolusi konflik kawasan kepada Bupati Halmahera Timur.

Diharapkan keterlibatan para pihak dalam kolaborasi pengelolaan         (co-management, collaborative management) di TNALakan lebih mampu meningkatkan keseimbangan kontrol yang sama besar antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi-organisasi non-pemerintah, dan masyarakat setempat. Dengan demikian,TNAL dapat dikelola lebih efisien dan efektif,serta keutuhan ekologisnya terlindungi dalam jangka panjangsehingga tidak menjadi sumberdaya yang open access. Perlindungan jangka panjang TNAL akan memberi manfaat yang adil bagi kepentingan nasional, masyarakat setempat,pemerintah daerah, dan masyarakat global.


*Ditulis oleh Ibu Zainabun, S.Hut (Kasubbag TU Balai TNAL)